Home » , » Ayat-Ayat Cinta 2 : Hulya Itu Egois

Ayat-Ayat Cinta 2 : Hulya Itu Egois


Kali ini saya akan membuat review tentang film Ayat-Ayat Cinta 2. Mungkin cerita saya lebih panjang dari reviewnya. Jadi jika berharap akan mendapatkan review yang objektif dan berimbang, saya sarankan untuk menyudahi bacaan kamu. (padahal tiap tulisan review cuma belasan orang yang baca.wkwkwk)
Dalam kehidupan fana yang saya jalani ini, ada 4 karya penulis yang mempengaruhi perjalana hidup saya yang singkat ini, mereka itu ialah:
1.    Hilman (Lupus)
2.    HabiburRahman El Shirazy (Ayat-ayat Cinta)
3.    Andrea Hirata (Laskar Pelangi)
4.    Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia)

Jadi rasa hormat saya yang tinggi pada kang Abik akan membuat review film ini akan sangat subjektif, terlebih pada novel Ayat-Ayat Cinta 1.

Novel Ayat-Ayat Cinta 1 adalah novel tebal yang pertama kali saya selesai mengkhatamkannya. Saya menyelesaikannya saat STM dulu. Sebelumnya saya hanya sesekali membaca Lupus karya Hilman. Ayat-Ayat Cinta-lah yang berhasil menggugah minat baca saya.  Baru kali itu saya merasa bahwa tulisan bisa dibuat seindah dan semenarik itu. Kemudian rasa kagum saya berlanjut ke novel Laskar Pelangi dan Bumi Manusia.

Dahulu saat saya kuliah film Ayat-Ayat Cinta 1 rilis dibioskop. Ketika itu banyak komentar bahwa filmnya tidak semenarik novelnya. Sayapun memutuskan untuk tidak menontonya di bioskop, bukan karena saya tidak ingin kecewa filmnya jauh berbeda dengan novelnya, namun lebih karena tidak punya uang untuk pergi ke bioskop. Semua mahasiswi tahu, sebanyak apa uang seorang mahasiswa.

Teman saya waktu itu bercerita, dia sudah menonton film Ayat-Ayat Cinta 1 namun belum membaca novelnya. Selang beberapa lama dia akhirnya selesai membaca novelnya. Dia bilang memang filmnya tidak menggambarkan seutuhnya keindahan novel Ayat-Ayat Cinta 1. Hal yang menggangu dari film Ayat-Ayat Cinta 1 adalah bagaimana cara Fahri menatap wanita. Ini tidak sesuai harapan teman saya, bagaimana Fahri yang dimetaforakan sebagai Malaikat, namun menatap wanita dengan tatapan yang meluluhkan.
 Akhirnya saya tidak pernah menonton film Ayat-Ayat Cinta 1. Demi tetap menjaga kesan mendalam novel tersebut dalam hidup saya.

Pepatah pernah mengatakan, “Tidak ada yang kekal didunia ini, kecuali perubahan.”
Tidak terkecuali dalam diri saya. Minat baca berangsur-angsur menurun. Saya lebih senang menonton film daripada membaca buku.  Setelah Ayat-Ayat Cinta 1 saya masih membaca novel karya kang Abik yaitu Pudarnya Pesona Kleopartra dan Ketika Cinta Bertasbih. Selanjutnya saya tidak lagi mengikuti karya-karya kang Abik.

Bagaimana manusia berubah. Saya dulu membaca novelnya, tapi tidak punya uang untuk pergi ke bioskop menonton filmnya. Sekarang saya tidak membaca novelnya (karena malas membaca), tapi punya uang untuk pergi ke bioskop menonton filmnya.
Saya rindu diri saya yang dulu.

Sampai ketika saat saya menonton film Star Wars : the Last Jedi saya melihat poster Ayat-Ayat Cinta 2. Akhirnya saya putuskan siang yang malas  ini bersama istri saya menonton film yang disutradari Guntur Soeharjanto itu.

Saya tidak jago nyinyir, tapi sebagai calon penulis novel ini (amin.. semoga tahun depan novel saya benar-benar saya selesaikan)  saya tidak bisa menikmati film Ayat-Ayat Cinta 2.
Konflik dalam film padat sekali, tidak ada ruang untuk penonton untuk menikmati tiap bagiannya. Bagian yang cukup menganggu misalnya saat Keira memohon untuk dinikahi Fahri. Tapi saya bisa bayangkan bagaimana adegan itu didalam novel, pasti sangat menyentuh.
Saya juga terbayang ujaran kawan saya dulu tentang Ayat-Ayat Cinta 1 yaitu bagaimana tatapan Fahri menatap lawan jenis, ya memang agak mengganggu.

Selain itu banyak adegan yang seharusnya berhasil membuat emosi penonton teraduk-aduk. Terlebih pada adegan Aisha. Adegan saat akhirnya Nenek Katerina berhasil mengetahui identasnya Aisha, tangan terbakar atau saat penikahan Fahri dengan Hulya. Namun menurut saya tidak terlalu berhasil membuat penonton bercucuran air mata. Paling tidak istri saya tidak menangis.

Adegan emosionil yang berhasil menurut saya adalah saat Aisha didalam penjara. Ya Allah, saya bayangkan bagaimana potongan novel menceritakannya. Organ penting yang membuat orang bernafsu padanya dia hancurkan, demi akh Fahri.

Istri saya berujar dia sebel nonton bareng saya. Menurut dia, sayalah yang membuat emosi dia tidak berhasil terpancing. Mungkin umpatan-umpatan saat menonton yang meski sudah saya lirihkan terdengar juga olehnya. Saya merasa film ini punya bahan cerita bagus, namun menyuguhkan ketanggungan yang tidak bisa dinikmati secara utuh.

Selesai menonton istri saya berkomentar, “Hulya itu egois.”

Yah, tidak mengerti juga saya maksdunya apa,  mungkin wanita yang lebih paham konfik antara Fahri, Aisha dan Hulya. Entahlah.

Sehingga film ini tidak bisa dikatakan jelek, namun agak berlebihan juga jika kita bilang film ini bagus.


Rating 6-7. Bagus sih tapi tanggung.



0 comments:

Post a Comment

 
Copyright © 2014 Bilik Sinema | Published By Pro Templates Lab | Powered By Blogger