“Aku pergi ke hutan karena aku ingin hidup dengan bebas. Aku ingin hidup secara mendalam dan membuang semua inti kehidupan.... untuk mengalahkan semua yang bukan bagian dari kehidupan; dan bukan untuk, ketika aku mati nanti, menemukan bahwa selama ini aku tidak hidup.” – Hendry David Thoreau
Film yang disutradarai oleh Peter Weir ini berlatar sebuah sekolah khusus laki-laki bernama Welton Academy di New England pada tahun 50-an. Sekolah yang dikenal eksklusif dan memiliki reputasi hebat. Dimana setiap murid wajib mengikrarkan empat pilar dari akademi tersebut yaitu tradisi, kehormatan, disiplin, dan excellence.
Di akademi tersebut Todd Andeson (Ethan Hawke) yang pemalu dan kaku bertemu Neil Perry (Robert Sean Leonard) seorang murid ambisius yang menjadi teman sekamar asramanya. Keduanya adalah anak yang mendapatkan tekanan untuk menjadi apa orang tua mereka inginkan, Todd menjadi pengacara dan Neil menjadi dokter. Namun tanpa mereka berani menyatakan apa yang sesungguhnya hati kecil mereka inginkan.
Selama hari pertama kelas Todd dan Neil mengalami berbagai metode belajar yang meliputi pengajaran yang konvensional oleh guru trigonometri, guru Latin, dan guru matematika. Sampai akhirnya sosok guru yang “luar biasa” hadir di kelas mereka sambil bersiul 1812 Overtune melintasi kelas, kemudian keluar lagi. Tak lama guru tersebut kembali sambil megatakan, “Ayo!”, yang artinya mereka harus mengikuti sang guru untuk belajar diluar ruangan kelas.
“kita semua adalah makanan cacing, Kawan.” ujar Mr. Keating, seorang guru sastra Inggris dengan pandangan-pandangan tak lazim. Sosok guru yang diperankan oleh Robin Williams dalam film yang dirilis pada tahun 9 Juni 1989, Dead Poets Society.
“Masing-masing dari kita suatu hari nanti akan berhenti bernafas dan, membeku dan mati.”
Kata-kata itu ditujukan pada murid-murid yang masih polos, sehingga kesadaran mereka terkejut dengan apa yang baru saja mereka dengar. “Carpe diem, Kawan, Rengkuhlah hari!” lanjut Mr. Keating, “Buatlah hidupmu menjadi luar biasa.”
Film yang menyabet 1 akademi award untuk best writing screenplay ini memang benar-benar mengoyak sisi pemberontak dari darah muda, "darahnya para remaja." kalau kata bang Haji Oma.
Pada satu adegan Mr. Keating membuat anak seluruh berdiri di atas meja untuk melihat dunia dari perspektif yang berbeda karena alam semesta lebih luas daripada yang mereka pikirkan. Hal ini yang merupakan cara lain ia menunjukkan ketidaksesuaian dan kebebasan.
Lantas apa yang dimaksud Dead Poets Society itu sendiri. Saya pikir menonton sendiri dan menikmati setiap bagian alur ceritanya akan lebih menarik, dibanding saya ceritakan details di review ini.
Ada satu quote yang saya suka dari film ini “Kita tidak membaca dan menulis puisi sebab hal itu manis. Kita membaca dan menulis puisi sebab kita merupakan bagian dari umat manusia. Dan umat manusia dipenuhi dengan gairah. Pengobatan, hukum, bisnis, teknik: Itu semua adalah pekerjaan yang mulia dan diperlukan untuk mempertahankan hidup. Tetapi puisi, kecantikan, asmara, cinta... Berguna bagi kita untuk tetap hidup.”
Dengan konflik cerita Mr. Keating dan muridnya, serta konflik khusus yang terjadi pada Neil, membuat film yang berdurasi 130 menit ini terasa sangat menegangkan buat saya. Film bergenre drama berlatar edukasi ini, snagat saya rekomendasikan bagi pecinta film dan puisi. Meski lagi-lagi ini merupakan film lawas..hehehe
Rating saya 9/10
Puisi itu bagian dari hidup, hidup bagian dari puisi hehehe
ReplyDeletepengen nonton filmnya jadinya ... keren kayaknya
filmnya seruu.. lewat puisi membentrontak sistem yang kaku dan jumud..
Deletesepertinya filmnnya robin william kece2 yaaa
ReplyDeleteiyaa.. doi menang oscar di film good will hunting.. itu seru juga filmnya..
Deletekalo ada kesempatan pingin juga bikin review fimnya..