Home » , » Nobody Knows (2004) : Kesedihan Mendalam untuk Bertahan Hidup

Nobody Knows (2004) : Kesedihan Mendalam untuk Bertahan Hidup

“Kau sangat egois, Bu.” -- Akira Fukushima

Kalau kata pak ustadz, “segala yang berlebihan itu tidak baik”, begitu juga dalam hal film, meskipun film itu hanyalah fiksi atau karya seni belaka. Berlebihan yang saya maksud ialah berlebihan dalam mengeksplorasi emosi para penontonnya. Itulah yang saya rasakan saat menonton film “Nobody Knows” film asal negeri sakura yang berjudul asli “Dare mo shiranai”. Film yang sungguh menyesakan dada saya.

Sejauh yang saya ingat tidak banyak film yang mampu menyesakan dada saya. Selain “Nobody Knows” ada juga film animasi berjudul “Grave of the Fireflies”, kedua film Jepang itu sukses buat berujar, “Tidakkkkk, setelah semua kesengsaraan yang telah dilewati.. kenapa harus berakhir seperti itu..  kenapaaaaa???”

Berbeda halnya ketika saya menonton film drama sedih yang berasal dari negeri Paman Sam, misalnya  “A.I. Artificial Intelligence” atau film karya Chalie Chaplin “The Kids”. Meski film ini menguras emosi, namun pada akhirnya kita masih merasakan klimaks bumbu kebahagiaan pada akhirnya.

Menarik, film-film yang bisa dikategorikan sedih yang sudah saya tonton, semua bertema konflik yang berhubungan dengan anak-anak.

Kita kembali ke topik film “Nobody Knows”, film yang dirilis pada 21 Oktober 2004 ini terinspirasi oleh peristiwa nyata yang terjadi di Tokyo tahun 1980-an. Bercerita tentang kehidupan keluarga kecil terdiri orangtua tunggal (ibu) dengan keempat anaknya disebuah apartment di kota Tokyo. Ibu mereka bekerja sebagai wanita penghibur. Anak-anaknya memiliki ayah yang berbeda dan karena sebab itu anak-anak tersebut belum pernah ke sekolah. Ketika suatu ketika sang Ibu dengan sangat egois menginggalkan keempat anaknya demi  mengejar cinta dan kehidupan lebih baik, saat itulah sang anak ditelah konflik yang kejam untuk bertahan hidup.

Film yang berdurasi 140 menit ini sudah saya rasakan kesedihannya pada 5 menit pertama. Ada suatu hal dalam kenangan masa kecil saya yang menghendaki untuk segera berhenti menonton film ini. Meski pada akhirnya tetap saya tonton sampai habis. Saat menontonnya, saya berulang-ulang memeriksa durasi film, sesak di dalam dada saya bertanya apakah film ini sudah mau habis atau belum, kapan konflik anak-anak ini akan berakhir.

Menurut pendapat pribadi saya, film yang disutradarai oleh Hirokazu Koreeda ini terlampau sedih dan tidak memiliki jalan keluar. Saya tidak merekomendasikan film ini, jika memang menonton film bertujuan mencari hiburan.

Oia, ada informasi lain, tidak terlalu penting sih. Di film ini saya melihat penampakan dari Kenichi Endo mendapat peran kecil sebagai ayah Yuki (pegawai permainan pachinko). Kenichi Endo (Hideaki Goto) adalah pimpinan Yakuza dalam film The Raid 2: Berandal.

Rating saya 8.5/10

4 comments:

  1. Cerita anak-anak kok terlalu sedih. Kadang lucu juga, ibunya kurang baik kenapa mengharapkan anak-anaknya baik ya ? anak-anak kan akan mencontoh tingkah laku orang tuanya. Khususnya mencontoh ibunya.

    ReplyDelete
  2. iyaa.. menurut saya kalo konflik anak2 tanpa orang tua.. pasti sedihnya mendalam,,hehe

    ReplyDelete
  3. Kalau lihat film yang mengisahkan kesedihan, aku merasa beruntung karena masih diberikan jalan yang mulus tanpa hambatan selama ini, jadi self reflection untuk diri kita untuk selalu bersyukur

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaa mas, bersyukur dan ikhlas..
      thanks sudah mampir. :)

      Delete

 
Copyright © 2014 Bilik Sinema | Published By Pro Templates Lab | Powered By Blogger